Pasujudan Sunan Bonang terletak di sebuah bukit yang bersebelahan dengan pantai Binangun, yang masuk dalam Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kata pasujudan berasal dari bahasa Jawa dengan kata sujud yang berarti gerakan sholat dengan wajah mencium tanah. Dalam bahasa Jawa, sujud dapat diartikan menyembah atau beribadah secara umum. Penambahan pa dan an pada kata pasujuduan mengubah kata kerja sujud menjadi kata benda pasujudan yang berarti tempat untuk menyembah atau bersujud. Dengan menghadap tepat ke laut Jawa, posisi pasujudan Sunan Bonang akan tampak hamparan laut Jawa yang luas. Pada saat ini pasujudan Sunan Bonang yang berupa batu berada di dalam cungkup di komplek pasujudan bersama makam Putri Campa. Batu tersebut berasal dari batu andesit yang erbentuk datar yang cukup apabila digunakan untuk sholat. Terdapat tiga buah batu dan yang terbesar dipercaya sebagai tempat bersujudnya sunan bonang. Ada pula yang menybutkan bahwa batu ini merupakan alas yang digunakan memancing oleh Sunan Bonan dikarenakan rumah Sunan Bonang yang berada di sekitar laut dan bermata pencaharian nelayan. Pernah ketika beliau memancing dan waktu ashar hampir habis dan tidak memungkinkan apabila ia kembali kerumah, maka ia sholat di batu tersebut dan pada batu tersebut membentuk bekas anggota badan Sunan Bonang berupa telapak tangan dan lutut seperti posisi orang sholat.
Pada batu yang lain terdapat cap telapak kaki Sunan Bonang. Telapak ini menurut masyrakat merupakan cara berdiri Sunan Bonang menggunakan satu kaki layaknya posisi burung bangau, hal ini diartikan sebagai tirakat oleh Sunan Bonang. Pada batu tersbut masih membekas telapak kaki Sunan Bonang. Kedua batu yang ln dianggap sebagai bantal dari Sunan Bonang. Tempat ditemukannya btu – batu tersebut adalah di lereng bukit kemudian dinaikkan keatas dan dibuatkan cungkup. Namun tidak ada yang mengetahui kapan cungkup ini didirikan.
Sebelah utara cungkup Sunan Bonang terdapat cungup yang dipercaya sebagai makam dari Putri Campa. Cungkup ini memiliki arsitektur yang indah dengan empat tiang penyangga cungkup yang terbuat dari tulang belakang ikan paus. Namun ketik dilakukan pemugaran umpak tersebut diganti dan keasliannya pun hilang. Sementara itu jirat seta nisan makam juga sudah tidak asli namun merupakan tambahan ketika makam dipugar pada 1918. Putri Campa sendiri dipercaya sebagai murid dari Sunan Bonang dengan nama asli Bie Nang Tie. Ia berasal dari negri Campa pada wilayah Tonkin skitar daerah Kambojoa yang kini merupakan wilayah dari Vietnam. Bie Nang Tie merupakan putri dari seorang dhampo awang (seorang Laksamana) dari kapal niaga Champa, yang mendarat di Teluk Regol (Bonang).
Hubungan dagang yang dilakukan antara Bie Nang Oen dan Aipati Lasem Pangeran Badranala, pada akhirnya Bie Nang Ti dinkahi oleh adipati menjadi permaisuri dan kemudian mengubah namanya menjadi Winarti Kumudawardhani. Ketika Pangeran Badranala meninggal dan digntikan putranya Pangeran Wirabradjra, Bie Nng Tie kemudian menjadi bhikuni (seorang biksu), yang kemudian menetap di Banjar Melati (kota Lasem bagian selatan). Pada saat meninggal, Bie Nang Tie berumur 56 tahun dan kemudian abunya dimakamkan di Puncak Gunung Bonang dan diberi nisan layaknya orang Islam. Hasil pernikahan Nie Nang Tie dengan Badranala pada anak ke tiga menjadi adipati Lasem dan mempersunting Siti Syari’ah dari Ampel Denta (Surabaya), Adik Siti Syari’ah yaitu Machdum Brahim yang menjadi Sunan Bonang ditugasi untuk merawat makam Putri Champa tersebut dan diberi tanah perdikan oleh Adipati Wiranegara di Bonang.
Ada satu kisah yang menarik tentang Sunan Bonang dengan alat gamelan yang disebut Bonang. Kisah ini bermula ketika seorang utusan dari Majapahit bernama Becak yang akan menyampaikan suatu berita kepada Sunan Bonang. Sesampainya di depan rumah Sunan Bonang, Becak mendapati Sunan dan murid – muridnya sedang berdzikir. Sambil menunggu, Becak rengeng – rengeng (Bernyanyi Jawa dengan suara lirih). Suara ini pun terdengar oleh murid dan Sunan Bonang sendiri. Nampaknya, Sunan Bonang tidak berkenan mendengar suara tersebut ketika ia sedang berzikir. Muridnya pun bertanya kepada Sunan Bonang, suara apakah itu? Sunan Bonang menjawab suara tersebut adalah suata bende (alat gamelan, biasanya disebut bonang yang digunakan untuk mengumpulkan massa). Konon menurut cerita, Becak kemudian berubah menjadi bende setelah Sunan Bonang berkata demikian. Kemudian bende tersebut kemudian digunakan oleh Sunan Bonang untuk mengumpulkan murid – muridnya. Bend tersebut kemudian dinamakan Bende Becak. Dan hingga saat ini, Bende Becak masih tersimpan dan dirawat oleh juru kuci makam Sunan Bonang yang berada dekat dengan pasujudan. Setiap 10 Dzulhijjah atau pada hari raya Idul Adha, Bende Becak dijamas.