Situs Megalitik Terjan atau sering disebut sebagai Situs Megalitik Selodiri terletak di atas bukit Selodiri, Desa Terjan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Nama Selodiri sendiri berasal penamaan yang diberikan masyarakat lokal, dari kata “selo” yang bermakna batu dan “diri” adalah berdiri, jadi selodiri berarti batu yang berdiri. Situs ini pada tahun 1978 sampai 1981 pernah diteliti oleh Tim Penelitian Arkeologi dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional yang waktu itu status lembaga tersebut masih Proyek Penelitian Purbakala Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Haris Sukendar dan Rokhus Due Awe dijelaskan bahwa Situs Megalitik Terjan merupakan tinggalan punden berundak yang berukuran cukup besar yang diperkirakan dahulu seluas Bukit Selodiri. Pada bagian salah satu puncaknya ditemukan susunan batu Temugelang atau stones enclousure yang oleh Haris Sukendar dikatakan berbentuk oval. Selain susunan batu temugelang ditemukan pula beberapa unit kursi batu. Hasil ekskavasi yang dilakukan di areal temugelang antara lain ditemukan struktur karas “kubur batu” yang di dalamnya ditemukan tengkorak dan rangka manusia yang dikubur secara terbujur dengan arah hadap kubur Tenggara – Barat Laut. (Laporan Penelitian Terjan dan Plawangan Jawa Tengah Tahap I dan II dalam Berita Arkeologi tahun 1981). Situs megalitikum ini diperkirakan ada sejak 294 tahun sebelum tarikh Masehi. Kuat dugaan ada titik-titik megalitikum lain di sekitar lokasi tersebut. Jajang Agus Sonjaya dari Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, meyakini bahwa bagian barat Bukit Selodiri juga merupakan punden berundak. 8 Bangunan Megalitik umumnya dihubungkan dengan alam kubur yaitu untuk melindungi perjalanan arwah yang meninggal dalam perjalanannya (Heine Geldern, 1945). Keberadaan kursi-kursi batu yang penataannya mengarah kepusat merupakan dihubungkan dengan tempat duduk roh nenek moyang dan erat hubungannya dengan upacara pemujaan, seperti halnya di pulau Roti (Perry, 1918). Sedangkan pola hias kepala arca yang menyerupai binatang dengan penataan kearah luar dimaksudkan sebagai upaya penolak bahaya yang akan mengancam (Soejono, 1961). Situs ini merupakan peninggalan masa akhir Prasejarah yang masih berlanjut sampai masa Hindu Budha, dengan ditemukannya umpak yang merupakan ciri peninggalan masa klasik.
Situs ini berisikan beberapa Benda Cagar Budaya yang umumnya dihubungkan dengan alam kubur yaitu untuk melindungi perjalanan arwah yang meninggal dalam perjalanannya. Keberadaan kursi batu yang ditata dengan terpusat dihubungkan dengan tempat duduk roh nenek moyang dan erat hubungannya dengan konsep pemujaan. Terdapat beberapa batu yang diukir, kursi dan meja persembahan (dolmen). Pernah juga ditemukan kerangka manusia. Akan tetapi, kini yang tersisa tinggal batu-batu yang sebagain besar telah dihancurkan. Batu-batu tersebut ditata diatas bukit. Objek yang diidentikkan dengan batu-batu tersebut antara lain: Batu berlubang, Batu kursi, Batu gores, Arca batu berbentuk kepala buaya, Arca batu berbentuk kepala katak dan Arca batu berbentuk kepala ular. Situs Terjan berada diketinggian 105 m dpl dan Luas wilayah 2.423 m². Situs ini sangat penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan telah dilakukan penelitian secara berkesinambungan. Akan tetapi, keberadaannya yang berada di daerah karst rawan terancam karena wilayah situs ini sangat potensial sebagai tempat penambangan. Bentuk pahatan batu yang paling menarik adalah kepala buaya, tapi ada juga yang mengatakan mirip topeng. Beberapa peneliti mengidentikkan sebagai penolak bahaya, namun ada juga yang berpendapat bentuk tersebut merupakan jelmaan neneh moyang. Hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan Totenisme. Namun pada kenyataan sekarang, pendapat tersebut tidak dijumpai pada warga Terjan. Hal ini mungkin erat kaitannya dengan kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang melarang pelestarian situs, sehingga pemerintahan tertinggi di desa tidak pernah menyentuh Situs Terjan.